ERA EMAS SONGKET PALEMBANG
Teks & Foto: Dody Wiraseto
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan tidak hanya berupa situs-situs dan prasasti. Denyut kemegahan Kerajaan Sriwijaya masih terasa dalam sehelai kain tenun songket. Kain tenun ini bahkan kerap disebut sebagai ratu kain tenun merujuk pada kemewahan dan keindahan yang terpancar dari songket.
Kota di tepian Sungai Musi ini memang tidak banyak memiliki destinasi alam favorit. Hanya saja, ibukota Sumatera Selatan ini punya cerita sejarah dan budaya yang menarik untuk ditelusuri. Sejarah yang menunjukan betapa hebatnya sektor maritim Indonesia saat Kerajaan Sriwijaya masih berjaya. Budaya yang masih melekat di dalam keseharian masyarakat setempat.
Salah satu budaya yang kini malah bertransformasi menjadi identitas budaya Palembang adalah kain tenun songket. Untuk mencari tahu lebih dalam tentang keistimewaan kain tenun ini pun masih mudah ditemukan di kawasan Jalan Ki Gede Ing Suro. Disini pengrajin-pengrajin kain tenun songket banyak ditemui, bahkan salah satu rumah pengrajin songket yakni Zainal Songket, memiliki museum songket sendiri.
Kain tenun songket ini memang telah menarik perhatian saya. Inilah kain yang menurut saya mustahil tapi benar ada. Bagaimana tidak, salah satu benang yang digunakan adalah benang emas asli. Material yang selama ini saya anggap hanya pantas dijadikan barang perhiasan. Oleh para leluhur-leluhur terdahulunya songket adalah perlambang kemewahan.
Kerajinan tenun songket telah dimulai sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Mulanya bahan yang digunakan adalah kulit kayu, kemudian rajutan daun-daunan, dan akhirnya ditanamlah kapas sebagai bahan dasar pembuatan kain tenun. Pada abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi, Palembang yang dulu merupakan pusat kerajaan Sriwijaya memiliki pelabuhan yang ramai dan menjadi tempat persinggahan dari berbagai budaya seperti bangsa Portugis, India, Srilanka dan China.
Persinggahan budaya tersebut secara tidak langsung mempengaruhi motif dan corak kain songket, terutama China yang memberikan pengaruh warna merah dan keemasan yang kini menjadi ciri khas songket Palembang.
Motif dan Proses PembuatanWarna emas memang menjadi ciri khas kain tenun songket. Emas pula yang menjadikan songket terlihat mewah. Pada zaman dulu, kain tenun songket hanya digunakan oleh kalangan bangsawan untuk menunjukan derajat dan kemuliaan pemakainya. Pada motifnya pun memiliki ciri khas-ciri khas tersendiri.
Motif hias songket Palembang biasanya berbentuk geometris atau berupa aplikasi flora dan fauna yang memiliki perlambangan yang baik. Misalnya saja motif bunga melati, bunga mawar, bunga cengkeh, dan bunga tanjung yang harum melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan segala kebaikan lain.
Motif lain yang biasanya terdapat pada songket Palembang yaitu motif nago betarung, tabur limar, cantik manis (cempuk), lepus berakam, kenango makan ulet, bungo cino, bungo intan, bungo jepang, bungo pacik, biji pare, nampan perak, pulir, bintang kayu apuy, bintang berante, tigo negeri, dan lain-lain.
Kunci dari eksistensi kain tenun ini hingga kini adalah proses pembuatannya yang harus ditenun sepenuh hati. Saya berkesempatan melihat langsung proses penenunan ini di lantai bawah Zainal Songket. Bila melihat langsung, memang mustahil bila tidak dikerjakan dengan sepenuh hati dan terburu-buru. Untuk menyelesaikan satu kain, penenun membutuhkan waktu hampir 3 bulan dengan detail dan ketelitian yang konsisten.
Helai demi helai benang yang masih terurai disatukan oleh jemari penenun. Itupun harus dengan tempo cepat namun tetap perhatikan hal-hal detailnya. Setiap beberapa kali sisir digerakan, maka motif perlahan mulai terbentuk. Jika sekali saja penenun salah dalam memasukan sehelai benang, otomatis ia harus merombak ulang kainnya. Untuk itu penenun mutlak bekerja dengan sempurna, demi meminimalisir resiko kegagalan.
Museum Kain Tenun SongketBerabad-abad tenun songket menjadi bagian budaya Palembang. Kesemuanya bisa ditelusuri di Museum Tenun Songket yang ada di sisi kiri rumah Zainal Songket. Koleksi-koleksi kainnya pun sangat lengkap. Bahkan di pintu masuknya, terdapat kain songket motif Lepus Bintang produksi 1757. Kainnya terlihat sudah using, namun benang emasnya tetap memancarkan kemewahan kain ini.
Menariknya, kain tenun songket yang sudah berusia puluhan tahun di museum ini bisa ditenun ulang lagi. Caranya dengan melepas helai demi helai benang emasnya. Kemudian benang emas tersebut dikumpulkan untuk ditenun dengan benang sutera hingga membentuk motif yang sama. Untuk proses penenunan ini tidak semua orang bisa, karena butuh ekstra ketelatenan agar benang emas tidak rusak.
Motif Lepus Bintang di pintu masuk adalah pembuka batas dimensi kain tenun songket di museum ini. Di dalamnya terdapat songket-songket yang sudah berusia puluhan tahun dengan aneka corak tradisionalnya. Beberapa bagian bahkan ada yang sudah rusak dimakan zaman. Namun tetap saja rona kemewahan benang emas memberi pembeda.
Songket kini tetap lestari dan menjadi bagian dari budaya Palembang. Bahkan di pernikahan-pernikahan adat Palembang, songket adalah pakaian wajib yang harus ada. Baik itu digunakan oleh tamu dan pasangan pengantin. Dari ratusan tahun yang lalu hingga kini, kain tenun songket selalu berada di era emasnya.