TETESAN, MEMERCIK RAMPAI, MENUAI PERMAI
Teks & Foto: Paul ZachariaBudaya Jawa memiliki berbagai upacara yang tergolong indah dan bermakna. Beberapa waktu sebelum ini, kita mengenal adanya begitu banyak jenis jenang, yang dipakai nyaris dalam semua peristiwa kehidupan. Sejak lahir hingga kematiannya, seseorang sudah punya suatu jenis jenang yang dikonsumsi pada peristiwa penting itu. Makanan jenang ini ternyata ada di berbagai lokasi di Indonesia, sehingga dikoordinirlah semuanya dalam Yayasan Jenang Indonesia.
Kali ini, kita akan mengenal sebuah tradisi yang sudah cukup langka di masyarakat Jawa, yaitu Tradisi Tetesan – huruf “e” dibaca dengan lafal seperti dalam kata “telur”. Singkatnya, Tetesan adalah upacara sunat untuk wanita.
Sejak seorang gadis berusia delapan tahun, seharusnya ada suatu upacara yang dilaluinya. Dimana orang tua gadis tersebut menyelenggarakan suatu upacara pelepasan dan pemurnian seorang wanita memasuki masa pubertas, yaitu sebelum dia akan mengalami menstruasi yang pertama.
Dalam konteks pendewasaan itulah, masa sebelum menstruasi ini, seorang gadis dianggap perlu diupacarakan. Sayangnya, persiapan kedewasaan seorang wanita itu sangat jarang dilakukan karena pengaruh modernisasi dan globalisasi. Dalam pemahaman itulah, pihak Mangkunegaran mementaskan suatu gelar rekonstruksi tradisi Tetesan pada seorang gadis. Suatu upaya yang sangat layak diberi komplimen yang tulus. Seluruh rangkaian tradisi Tetesan itu dipagelarkan pada hari pertama Mangkunegaran Performing Arts 2017 di Kraton Mangkunegaran, Solo.
Tahapan awal Tetesan adalah prosesi masuknya sang gadis ke suatu lokasi yang sudah dipersiapkan, didampingi kedua orang tuanya. Mereka seakan menyiapkan gadis tersebut untuk memahami adanya suatu tanggung jawab seorang wanita dalam menyiapkan dirinya memasuki dunia rumah tangga.
Upacara ini dipimpin oleh seorang wanita yang disebut Bong Wadon, yang telah ditetapkan oleh pihak keluarga. Ibu Anna Hoedoko ditunjuk untuk memerankan Bong Wadon. Sementara sang gadis diperankan oleh Puspita Ratu Ardita.
Bong Wadon akan memangku dan memberi minum jamu kepada si gadis tersebut. Kemudian, dilakukan pembersihan dengan lap yang di beri cairan sereh. Saat itu kedua mata si gadis ditutup oleh kedua tangan ibunya.
Dalam upacara ini, juga dilakukan tahap siraman, dimana anak gadis ini akan dimandikan seperti saat seorang wanita sedang menghadapi pernikahannya. Tahap siraman ini diawali oleh kedua orangtuanya dengan mengguyurkan air yang telah diberi wewangian dan hiasan bunga untuk memperkuat estetika dan artistika upacara ini.
Dalam tahapan siraman itu, juga dilakukan oleh beberapa tetua atau mereka yang dianggap sebagai para sepuh dalam keluarga atau kerabat. Setelah itu, sang gadis dibawa masuk ke dalam kamarnya untuk berganti kostum. Sementara itu, kawan-kawan sang gadis yang diundang akan menikmati kudapan dan berbagai bubur yang disiapkan sebagai hidangan.
Setelah gadis itu selesai berdandan, dia dibawa keluar dan siap menemui seluruh undangan yang datang. Seorang gadis sedang melepas masa keremajaannya, dia sedang disiapkan menghadapi dunia kewanitaan yang sebenarnya. Sang gadis telah diperciki air bertabur bunga rampai, dan siap menjadi wanita yang cantik permai.
https://issuu.com/batikair.magazine/docs/batik_mei_2017