SEMERU TAK HARUS MAHAMERU
Teks & Foto: Dody Wiraseto
Dalam tataran "Seven Summit Indonesia" Gunung Semeru adalah salah satu gunung favorit bagi para pendaki. Kokohnya gunung tertinggi di Pulau Jawa ini berbalut cerita-cerita menarik di belakangnya. Gunung Semeru memiliki tantangan tersendiri, tetapi bukan berarti harus memaksakan diri. Karena gunung ini memang punya kontur yang sangat terjal menuju puncaknya sehingga perjalanan tidaklah semudah yang terlihat di layar bioskop.
"Kami hanya merekomendasikan pendaki hanya sampai Pos Kalimati tidak direkomendasikan hingga ke Puncak Mahameru. Jika sudah melewati Pos Kalimati, resiko sudah ditanggung sendiri oleh pendaki. Hal ini dikarenakan Puncak Mahameru banyak kondisi yang ekstrem, tidak hanya bentang alamnya, tapi juga suhunya," ujar Sukaryo, salah satu pemateri dari relawan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, saat pembekalan materi sebelum para pendaki memulai perjalanannya.
Ya, sebelum mendaki, semua pendaki memang diwajibkan untuk mengikuti pembekalan materi yang diberikan oleh pihak relawan. Hal ini demi memberikan edukasi dan gambaran umum tentang kondisi gunung ini sehingga meminimalisir hal-hal yang akan merugikan pendaki. Mereka pula yang menjaga agar gunung setinggi 3767 mdpl tetap lestari, khususnya dari prilaku-prilaku buruk pendaki. "Kami di sini tidak menerima bayaran, oleh karena ini kami hanya meminta satu bayaran, yakni sampah. Bayarlah kami dengan membawa turun sampah yang Anda bawa," ujar Sukaryo atau yang akrab pula disapa Cahyo.
Dari penjelasan selama kurang lebih 20 menit, sudah jelas ditekankan, bahwa pendaki tidak harus memaksakan menggapai puncak. Walau memang dari kejauhan, Puncak Mahameru begitu menggoda. Puncak Abadi Para Dewa ini memang terlihat megah, dengan kepulan asap "Jonggring Saloko" yang sesekali keluar dari puncak. Tapi bagi saya, kali ini ada baiknya menahan godaan mencapai puncak dan hanya melihatnya dari kejauhan. Karena esensi mendaki bukan melulu mencapai puncak, tetapi rumah adalah tujuan yang sejati.
Atas dasar itupula, pendakian kali ini tujuan utama saya hanya sampai di Pos Ranu Kumbolo, danau mengaggumkan di Lumajang dan berada di ketinggian 2.390 mdpl yang terkenal dengan pemandangan matahari terbitnya yang eksotis. Ranu Kumbolo adalah pos kemah sebelum Pos Kalimati dengan lahan landai yang cukup luas untuk mendirikan tenda. "Estimasi jalur pendakian yang dibuka memakan waktu 4-5 jam, melewati 4 pos hingga Ranu Kumbolo," jelas Cahyo. Ia menambahkan, sinyal ponsel terakhir hanya sampai pos dua ke ¬tiga.
Dari Ranu Regulo Hingga Ranu Kumbolo
Pendakian awal menuju Gunung Semeru adalah dari Desa Ranu Pane. Semenjak kian populernya Gunung Semeru, desa yang bersisian dengan danau Ranu Pane ini berubah menjadi desa wisata dengan mulai banyaknya warga yang membuka
homestay.
Salah satu akses menuju desa ini yakni melewati Lumajang. Melalui jalur ini selain saya disajikan pemandangan yang indah, tetapi juga jalur yang dilalui sudah sangat tertata dengan aspal mulus sepanjang Senduro hingga Desa Ranu Pane.
Di desa ini, suasana khas masyarakat Suku Tengger yang bercocok tanam di tebing-tebing bukit sangat kentara. Aneka sayur mayur ditanam di bukit dengan kemiring hampir 45 derajat, salah satu komoditas yang banyak ditemui adalah kembang kol.
Tidak luput pula identitas masyarakat Tengger dengan sarung yang selalu terikat di bahu dan tentu saja Ranu Regulo. Danau yang lokasinya bersebelahan dengan Ranu Pane ini juga memiliki pesona tersendiri, apalagi di kala pagi. Kabut-kabut tipis "menari" di atas air danau. Di tepiannya banyak tumbuhan menyerupai paku yang unik. Apalagi saat matahari terbit, semakin menambah rona alami danau ini.
Puas dari Ranu Regulo baru perjalanan saya lanjutkan menuju Ranu Kumbolo. Perjalanan awal masih didominasi dengan perkampungan berlatar bukit-bukit perkebunan warga. Setelah melewati gerbang masuk, barulah perjalanan sebenarnya tersaji. Jalur setapak menembus pepohonan dan ilalang. Sesekali saya harus merunduk karena jalur tertutup pohon tumbang. Jalur menuju Ranu Kumbolo didominasi kontur yang landai. Semakin lama, perjalanan semakin berat dengan kabut yang mulai menembus pepohonan.
Trekking terberat menuju Ranu Kumbolo adalah di pos tiga. Di pos ini langsung disuguhkan tanjakan yang lumayan terjal, tetapi setelah itu jalur kembali landai hingga pos empat. Di pos empat, bentang Ranu Kumbolo sudah terlihat. Danau seluas hampir satu hektar ini begitu memanjakan mata, dengan latar gunung yang kokoh. Tepat setelah 4 jam perjalanan, saya tiba di tepian danau Ranu Kumbolo. Tepiannya sudah dibangun pagar yang menandakan batas mendirikan tenda.
Pesona Pagi Ranu Kumbolo Dan Oro-Oro Ombo
Rasa lelah 4 jam trekking terbayar lunas dengan bentang Ranu Kumbolo yang menawan. Setelah istirahat semalaman, menunggu momen matahari terbit dari tepian danau adalah keharusan. Lasap-lasap bintang yang bertaburan di langit mulai lenyap. Berganti rona jingga dari balik bukit-bukit dan memberi warna baru pada pagi. Kabut tipis melaju di atas danau, sesekali kabut tersaput sinar matahari dan meninggalkan warna kuning keemasan. Pantas saja, banyak pendaki sudah merasa cukup dengan menikmati pagi di Ranu Kumbolo. Ketimbang mereka melanjutkan perjalanan menuju Mahameru.
Di belakang area kemah, tanjakan cukup tinggi tidak luput jadi tempat berswafoto. Tanjakan yang dijuluki sebagai tanjakan cinta, di mana mitosnya bila mendaki tanpa melihat ke belakang sembari memikirkan seseorang, maka orang yang dipikirkan selama menanjak, akan menjadi jodohnya.
Setelah tanjakan cinta, adalagi sebuah pemandangan yang tidak kalah indahnya. Sebuah sabana dengan didominasi tanaman berwarna ungu menyerupai tanaman Lavender. Namun, itu bukanlah Lavender, melainkan Verbena Brasiliensis. Tanaman yang cantik tetapi berbahaya bagi ekologi disekitarnya. Tanaman ini menyerap air sangat banyak dan cepat sehingga membuat daerah sekitarnya kekeringan. Verbena ini merupakan salah satu penyebab bunga Edelweis mati.
Bunga Verbena Brasiliensis berwarna ungu dan sebelumnya pihak TNBTS juga menyarankan pendaki untuk mencabut tanaman tersebut dan memasukan ke plastik. Hal ini agar bijinya tidak tersebar di jalan, karena bila itu terjadi, sama saja menyebarkan tanaman ini ke lahan yang lebih luas. Kini mengingat sebaran tanaman ini semakin luas, pihak TNBTS mulai menyarankan pendaki untuk tidak mencabut tanaman ini.
"Verbena di Oro-Oro Ombo jangan dicabut, karena selama ini kejadiannya banyak pendaki yang salah mencabut dan tidak memasukan ke kantong plastik, sehingga bijinya tersebar dan membuat tanaman ini semakin banyak," ujar Cahyo mengingatkan di saat pembekalan materi kemarin.
Oro-oro Ombo cukup hanya menjadi titik swafoto atau grup foto yang cantik. Dari titik ini, Puncak Mahameru sudah terlihat. Megahnya puncak Gunung Semeru tentu sebanding dengan pengorbanan yang dilalui. Namun, pilihan lebih bijaknya adalah mengikuti rekomendasi TNBTS. Mendaki Gunung Semeru memang tidak harus selalu mencapai Mahameru.